Senin, 30 Januari 2012

kebudayaan suatu daerah

KEBUDAYAAN ACEH

ASAL USUL KATA KEBUDAYAAN DAN SEJARAHNYA

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

ASAL MULA NAMA ACEH

Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.

Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.

Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :

1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.

3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.

4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.

5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.

10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.

11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.

12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.

13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.

7 KOMPONEN BUDAYA :

1. Macam-Macam Bahasa Aceh
  • Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
  • Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
  • Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
  • Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
  • Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
  • Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
  • Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
  • Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
  • Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.

2. KARYA / SENI

Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu.

Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).

Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.

Contoh kesenian :

1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab

Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.

2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan

Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.

3. Seni Musik : Rapai Geleng

Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.

4. Seni Tari : Tari Saman

Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.

3. TEKNOLOGI

Barang – Benda (Material Culture)

Alat-alat musik

a. Serune Kalee / Seruling Aceh

Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.

Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan Rapai merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

b. Rapai / rebana

Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.

c. Geundrang / gendang

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

d. Tambo / tambur

Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.

e. Taktok Trieng

Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).

f. Bereguh

Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9

tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.

Rumah Adat : Rumoh Aceh

Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot.

Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda

Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.

Pakaian Adat

Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.

Senjata

Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

4. MATA PENCAHARIAN

Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.

Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.

Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.

5. SISTEM AGAMA

Suku Aceh adalah pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa- dewa. Kepercayaan agama lainnya hanya berkembang di kalangan para pedagang. Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh 10 sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.

Simbol yang digunakan pada suku aceh adalah rencong, karena gagangnya yang melelekuk kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”, gagang tempat genggaman berbentuk huruf hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan huruf hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan huruf hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian dari huruf tersebut mewujudkan kalimat ”BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang yang anti Islam.

Mitos yang terdapat di dalam suku aceh adalah memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini bahwa jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti orang tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan burung hantu adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib.

Di dalam suku aceh terdapat beberapa ritual agama, yaitu intat bu pada saat ibu sedang hamil, peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir, danpeus ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah ritual untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin kepada bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu dibibir agar anaknya terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah ritual untuk anak yang baru disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar dengan campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan, kemudian disebarkan beras yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat. Ritual ini bertujuan agar Allah SWT memberikan keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut.

Masyarakat suku aceh sangat mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang teguh keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan menghargai para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan ulama melebihi ketundukan pada para raja.

6. ORGANISASI SOSIAL

Status

Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :

• golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.

• golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.

• golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.

• golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.

Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut:

• Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.

• Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.

• Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.

Sistem Keluarga

Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Pernikahan

Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

Sistem politik dan pemerintahan

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.

7. SISTEM PENGETAHUAN

Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.

Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
 
refrensi:
             http://hanumskamyta.blogspot.com

Jumat, 13 Januari 2012

alternatif penanggulangan masaalah SARA


Mata kuliah Pendidikan Pancasila memberikan penjelasan tentang perlunya diberikan perkuliahan Pancasila dari berbagai sudut pandang, beberapa teori asal mula, fungsi dan kedudukan, hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945, pemikiran dan pelaksanaan serta reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila. Selain hal tersebut di atas, pada matakuliah Pendidikan Pancasila ini juga dibahas permasalahan aktual dewasa ini khususnya tentang SARA, HAM, krisis ekonomi, dan berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai Pancasila.
Modul-modul matakuliah Pendidikan Pancasila ini disusun berdasarkan Garis Besar Program Pembelajaran yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nomor: 265/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh matakuliah Pendidikan Pancasila tertuang dalam Tujuan Instruksional Umum, yaitu mahasiswa diharapkan dapat:
  1. Memahami landasan diberikannya perkuliahan Pancasila.
  2. Memahami pengertian Pancasila.
  3. Memahami pengetahuan ilmiah secara umum dan Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah.
  4. Memahami Pancasila sebagai obyek studi ilmiah.
  5. Memahami pengertian teori asal mula.
  6. Memahami teori asal mula Pancasila secara budaya, asal mula Pancasila formal, dan dinamika Pancasila sebagai dasar negara.
  7. Memahami dan menjelaskan fungsi serta kedudukan Pancasila, baik secara formal yaitu Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia maupun secara material yakni Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
  8. Memahami dan menjelaskan tentang hubungan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maupun kedudukan hakiki Pembukaan UUD 1945.
  9. Memahami dan menjelaskan pemikiran dan pelaksanaan Pancasila serta Reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila.
  10. Memahami dan menjelaskan berbagai permasalahan aktual dewasa ini, khususnya permasalahan SARA, HAM, dan krisis ekonomi serta berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai Pancasila untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Beban kredit matakuliah Pendidikan Pancasila adalah 2 sks. Setiap sks mempunyai 3 modul sehingga matakuliah ini mempunyai 6 modul. Keenam judul modul mencerminkan tujuan instruksional umum yang dibahas pada modul tersebut. Adapun judul modul tersebut adalah:
Modul 1 : Pancasila dan Pengetahuan Ilmiah
Modul 2 : Asal Mula Pancasila
Modul 3 : Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Modul 4 : Pancasila dan UUD 1945
Modul 5 : Pelaksanaan Pancasila
Modul 6 : Pancasila dan Permasalahan Aktual
Tujuan instruksional umum tersebut di atas kemudian dipecah/dirinci lagi dalam satu atau lebih tujuan instruksional khusus. Esensi tujuan instruksional khusus tersebut mencerminkan jenis-jenis perilaku akhir yang seyogianya dapat ditunjukkan oleh para mahasiswa setelah mempelajari modul ini.
Keseluruhan pembahasan bahan-bahan kuliah yang terdapat di dalam modul ini penyajiannya diusahakan sesederhana mungkin, terutama untuk hal tertentu yang materinya banyak, akan tetapi tentu saja ada bahan-bahan yang memang belum tertampung dalam modul seluruhnya, untuk pengembangan dan penyajiannya dapat dilihat dari sumber Pustaka lain. Demikin gambaran tentang matakuliah Pendidikan Pancasila. Dengan adanya gambaran ini diharapkan para mahasiswa dapat menyiapkan diri untuk lebih baik.
Selamat belajar semoga sukses!
===================
Modul 1
PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Kegiatan Belajar 1
LANDASAN PERKULIAN DAN PENGERTIAN PANCASILA
Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah kemana. Adapun pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah.
Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan kebebasan yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAHR
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode, bersistem, dan bersifat universal. Berobjek terbagi dua yakni objek material dan objek formal. Objek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest, point of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem atau bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan. Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat dipelajari secara ilmiah.
Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi ilmiah, yakni pendekatan yang dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional, dan pendekatan filosofis.

Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
Kegiatan Belajar 1
TEORI ASAL MULA PANCASILA
Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
  1. Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
  2. Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
  3. Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
  4. Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
  1. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan aja dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan adanya sifat persatuan.
  4. Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
  5. Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
Kegiatan Belajar 2
ASAL MULA PANCASILA SECARA FORMAL
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
  1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
  2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
  3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
  4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok.
  1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
  2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
  3. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
  1. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
  2. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
  3. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
  4. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
  5. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
  6. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
  7. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).

Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
Kegiatan Belajar 1
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.

Modul 4
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Kegiatan Belajar 1
HUBUNGAN PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD’45; bahwa Pembukaan UUD’45 berkedudukan dan berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD’45 juga sebagai suatu yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD’45 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD’45, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD’45 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan Secara Material antara Pancasila dan PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru kemudian membahas Pembukaan UUD’45; sidang berikutnya tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD’45.
Kegiatan Belajar 2
KEDUDUKAN HAKIKI PEMBUKAAN UUD’45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. Adapun kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama; Pembukaaan Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kedua adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat Indonesia yang luhur (Suhadi, 1998). Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu tujuan negara, bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang pembentukan UUD.

Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
Kegiatan Belajar 1
PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Kegiatan Belajar 2
REFORMASI PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi, antara lain sebagai berikut.
  1. Reformasi bukan revolusi
  2. Reformasi memerlukan proses
  3. Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan
  4. Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural
  5. Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
  6. Reformasi memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi, agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain: pertama, mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan, antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama. Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial review yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan prosedural suatu produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya.

Modul 6
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL
Kegiatan Belajar 1
PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA
Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama, antarsuku, atarras, antargolongan dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia“. Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-indonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  3. Hak mengembangkan diri
  4. Hak keadilan
  5. Hak kemerdekaan
  6. Hak atas kebebasan informasi
  7. Hak keamanan
  8. Hak kesejahteraan
  9. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
  10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kegiatan Belajar 3
PANCASILA DAN KRISIS EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba ternyata tidak berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain. yang juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara negara
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran individu.
Refrensi:
·         http://vivixtopz.wordpress.com