KEBUDAYAAN ACEH
ASAL USUL KATA KEBUDAYAAN DAN SEJARAHNYABudaya atau kebudayaan  berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk  jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang  berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan  disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah  atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau  bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam  bahasa Indonesia. Budaya adalah  suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah  kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk  dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat  istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,  sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh adalah  nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang  terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan  sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang  sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap  berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan  Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan  para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai  andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan  pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya  hingga Aceh bergabung  dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang  termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi  salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka  yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat  wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang  Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani,  orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar  Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu.  Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan  mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut  rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan  dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka,  rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk  dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun,  Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri  Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat  hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di  lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar,  khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua  Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse.  Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus  berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh”  dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya  lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut  bahasa Aceh adalah  Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam  catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama)  yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang  merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang  penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan  lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang  portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm,  Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin.  Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin,  Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih  banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di  antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India)  berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para  anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung  Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh  di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan  sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut  Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain  diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu.  Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh,  ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru  “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari  kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan,  ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang  hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak  sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan  mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak  berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung  dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak  lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di  atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44  hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan  dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume,  a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang  melahirkan).
9. Mitos lainnya  menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang  berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi  pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan,  pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi  abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh.  Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang  artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka,  dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara  berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal  dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu  melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah  lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang.  Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di  Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
7 KOMPONEN BUDAYA :
1. Macam-Macam Bahasa Aceh
- Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan  bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar  70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan,  terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang,  Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
- Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai  suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun  kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan  bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur.  Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan  mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
- Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya  lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di  Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara,  di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu  sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli  dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara  yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima  kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,  Babussalam, dan Bandar.
- Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
- Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan  merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca,  antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar  wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat,  khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang,  Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan  Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah  bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang  yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh.  Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau  ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah  refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
- Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara  luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui  tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa  Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan  sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat  dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam  bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
- Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa  Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk  penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi  sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena  kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang  menggunakan bahasa Aceh,  bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga  yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak)  khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah  Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan  Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada  enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari  diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari  sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya  kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal  penggunaan bahasa.
- Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang  digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang  mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini  kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh  masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat  sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta  pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa  ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa  daerah.
- Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang  merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah  penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina  Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini  telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di  luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya  terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten  Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa  Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada  perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah  bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue  hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini  memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah  kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah  Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah  kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
2. KARYA / SENI
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah  melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah  kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil  karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya  Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop),  saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang  dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok  tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja,  atau dalam dalam perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara  lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak  serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif  panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang  terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus  berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).
Kesenian Aceh dibalut  dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat  dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain  itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi  oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos  legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari  saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh.  Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan  sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan  Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai  ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah  memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang  diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial  pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan  menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi  nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.
3. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang  dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar,  seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat.  Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik  dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah  beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang  digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada,  juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa,  syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu media  untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan,  sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam  posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari  dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
3. TEKNOLOGI
Barang – Benda (Material Culture)
Alat-alat musik
a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh.  Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang  pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan  dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk  menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai  pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan Rapai merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
b. Rapai / rebana
Rapai terbuat dari bahan dasar  berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna  dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi)  yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
c. Geundrang / gendang
Geundrang merupakan unit  instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis  alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau  memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo  dari musik tradisional etnik Aceh.
d. Tambo / tambur
Sejenis gendang yang termasuk  alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan  sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai  alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk  mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah  kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah  terdesak olah alat teknologi microphone.
e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat  pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi untuk mengusir burung  ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya  diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau  (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
f. Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup  terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas,  banyaknya nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik  meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama  apabila berada dihutan/berjauhan9
tempat antara seorang dengan  orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang,  diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Rumah Adat : Rumoh Aceh
Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot.
Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda
Seni hias Aceh umumnya  mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa  (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan  ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.
Pakaian Adat
Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah  baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak  musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya  disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya  memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain  sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang  disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini  dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Senjata
Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
4. MATA PENCAHARIAN
Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh,  untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai  petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai  pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.
Mata pencaharian pokok suku aceh adalah  bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh,  lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk masyarakat yang hidup di  sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan  yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar.  Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang  secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang  dagangannya dari kampung ke kampung.
5. SISTEM AGAMA
Suku Aceh adalah  pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa- dewa. Kepercayaan  agama lainnya hanya berkembang di kalangan para pedagang. Aceh termasuk  salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh 10 sebab  itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya  "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari  mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.
Simbol yang digunakan pada suku aceh adalah  rencong, karena gagangnya yang melelekuk kemudian menebal pada bagian  sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”, gagang tempat genggaman berbentuk  huruf hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal  besi dekat gagangnya merupakan huruf hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari  pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan  ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit  melekuk ke atas merupakan huruf hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian  dari huruf tersebut mewujudkan kalimat ”BISMILLAH”. Ini berkaitan  dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk senjata perang untuk  mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang yang anti Islam.
Mitos yang terdapat di dalam suku aceh adalah memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini  bahwa jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti  orang tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan  burung hantu adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib.
Di dalam suku aceh terdapat  beberapa ritual agama, yaitu intat bu pada saat ibu sedang hamil,  peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir, danpeus ijuek. Intat bu adalah  ritual yang dilakukan untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang  disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah ritual untuk bayi  yang baru lahir dengan memberikan cermin kepada bayinya agar anaknya  menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu dibibir agar anaknya  terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah ritual untuk anak yang  baru disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar dengan campuran  bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan, kemudian disebarkan beras  yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat. Ritual  ini bertujuan agar Allah SWT memberikan keberkatan dan rezeki kepada  anak tersebut.
Masyarakat suku aceh sangat  mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang teguh  keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan  menghargai para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan  ulama melebihi ketundukan pada para raja.
6. ORGANISASI SOSIAL
Status
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :
• golongan keluarga sultan :  keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim  untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.
• golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
• golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
• golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada  zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah  kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah  polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut:
• Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
• Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
• Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
Sistem Keluarga
Dalam sistem keluarga, bentuk  kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip  keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal.  Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pernikahan
Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh.  Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan  adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah  mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian,  sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok  kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh  tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban  memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama  adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Sistem politik dan pemerintahan
Bentuk kesatuan hidup setempat  yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau  kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang  imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang  dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di  setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi  masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal  sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh  karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan,  maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai  dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli  ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini  dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
7. SISTEM PENGETAHUAN
Suku Aceh memiliki  sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh  manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki  pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh,  yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf  Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis  dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
refrensi:
             http://hanumskamyta.blogspot.com
